Kamis, 02 Agustus 2018

Cerpen 'Bapak"




Tak Cukup Hanya Rumah
Seni Asiati, M.Pd
Guru SMPN 231



****** Rumah Dongkel
Rumah ini adalah rumah keluargaku yang penuh perjuangan. Bukan karena rumah yang lain tidak ada perjuangan. Rumah ini semua cerita terbangun dengan penuh warna. Tahun 1980 daerah pinggiran di Jakarta masih belum terjamah listrik. Sebenarnya rumah perjuangan ini tidak jauh dari kompleks yang kami tinggali masih dalam satu kecamatan bahkan satu kelurahan. Hanya saja daerah ini terletak agak jauh dari jalan raya dan memang masih sepi. Tahun 1980  daerah rumah ini masih banyak sawah, jalan belum beraspal, listrik belum masuk, dan air bersih belum tersedia. Akses jalan menuju ke rumah perjuangan masih sulit. Jalan yag harus dilalui dari tanah yang licin bila musim hujan dan kering berdebu jika kemarau. Warga juga harus berjalan jauh untuk naik angkutan umum. Transportasi menuju jalan raya tidak ada hanya bisa berjalan kaki sejauh 2 km.
Awalnya aku dan saudaraku  takut tinggal di rumah yang dibangun bapak. Biasanya kami selalu tinggal di kompleks. Rumah pertama tempat aku dilahirkan di daerah sejuk dan dingin Cipanas, Jawa Barat sebuah kompleks istana Presiden Cipanas. Bapak bertugas di istana waktu itu. Kami biasa menyebut rumah Cipanas. Kemudian kami pindah ke Jakarta dan tinggal di rumah Mambo. Rumah Bor Panas juga rumah masa kecilku. Bapak adalah abdi negara sehingga aku dan keluarga harus mengikuti kemana bapak bertugas. Setiap rumah memiliki cerita yang berkisah berbeda. Rumah Cipanas tidak banyak yang bisa aku ceritakan. Aku masih terlalu kecil untuk mengingat rumah Cipanas. Yang aku ingat adalah delman dan pohon cemara menuju kompleks rumah Cipanas. Rumah Mambo ada sedikit cerita disitu.  Kedua rumah itu adalah rumah masa kecil yang sungguh indah untuk sekadar diingat. Terutama rumah Cipanas tempat kelahiranku.
Bapak memiliki cerita sendiri dengan rumah Cipanas. Udara yang sejuk dan alam pegunungan yang asri maklum terletak di daerah puncak. Kenangan bapak banyak sekali di rumah Cipanas. Bapak memulai karier pekerjaannya di daerah ini. Sebuah kompleks untuk para pengawal yang bekerja di Istana Cipanas. Sebagian orang Indonesia tahu Istana Cipanas ini. Sewaktu aku kecil pelataran depan istana bisa kami masuki, itu pun bila keluarga istana tidak ada yang berkunjung atau tidak ada acara di istana. Bahkan kelahiranku menurut mama dibantu oleh ibu bidan istana, atau yang biasa membantu persalinan anak-anak pegawai istana.
Rumas Cipanas adalah saksi sejarah bagaimana bapak membangun karirnya. Setiap sudut kompleks istana dan perumahan menjadi sudut-sudut indah untuk dikenang bapak. Bapak selalu mengajak berlibur ke Cipanas. Tidak ada sanak saudara yang bisa kami datangi. Biasanya aku akan memesan hotel atau villa. Bapak selalu semangat bila diajak berlibur ke dearah Cipanas. Ada saja cerita bapak bila diajak berkunjung ke Cipanas.
“Ini dulu tempat bapak latihan.” Kata bapak ketika kami berlibur ke Cipanas.  Bapak akan semangat bercerita pada anakku Naldi. Tak heran kalau cita-cita Naldi mengikuti jejak bapak.
**********
“Kumpul semua di ruang tamu yah.” Kata bapak selepas bapak makan malam. Waktu itu kami masih di Rumah Cilincing, seingatku tiga bulan setelah kakakku Iwan meninggalkan kami.
“Ada apa Pak?” tanya Susi yang memang sedang asyik dengan radio yang memutar sandiwara radio yang kata Susi cukup seru dan sayang ditinggalkan. Aku pernah mencuri dengar sandiwara radio itu sewaktu tidur malam. Hanya saja kalau aku dan Tita mencuri dengar, kakakku Susi akan marah dan buru-buru mematikan radio.
“Hari Minggu kita pindah rumah, kalian harus membereskan semua barang-barang kalian sendiri, sementara bapak dan mama membereskan barang-barang yang ada di rumah ini.” Bapak memberitahu dengan jelas dan tegas bahwa semua barang kepunyaan aku dan saudaraku harus dikemas sendiri. Bapak dan mama sudah menyiapkan beberapa kardus bekas yang bisa kami pakai.
“Ri, itu semua barang-barangku kamu sama Tita yang mengemas yah. Aku gak enak badan nih.” Kakakku Susi sudah memberi perintah dan jangan harap aku dan Tita menolak. Pernah aku menolak dan Susi marah sambil berteriak-teriak yang membuat malu bapak dan mama. Kejadian itu sering terjadi dan jadi senjata Susi agar kami menuruti perintahnya. Aku tentu saja malu kalau harus bertengkar dengan Susi dan mendengar teriakan Susi. Tetangga sebelah rumah orang Jawa yang tutur katanya selalu lembut. Kadang tetangga ikut menenangkan Susi untuk diam.
Rumah ini dibangun oleh bapak dan mama dua kali lipat lebih luas daripada rumah Mambo dan rumah Cilincing. Proses pembangunan juga membutuhkan dana yang tidak sedikit. Kata mama semua perhiasan mama habis dijual demi mewujudkan rumah impian keluarga. Aku yang pada waktu itu sudah bisa mengendarai motor, sering ditugaskan mama mengantar makanan untuk tukang yang mengerjakan pembangunan rumah.
Ada satu cerita yang aku ingat ketika aku mengatarkan makanan. Hari itu sepulang mengantar makanan, aku pulang ke rumah sendiri. Mama tidak ikut tinggal di rumah yang sedang dibangun Motor yang aku kendarai melewati rumah teman sekolahku. Temanku melihat aku melintas kemudian berteriak memanggil namaku. Aku yang mendengar panggilan itu menoleh dan melambaikan tangan. Rupanya aku melaju cukup kencang tangan kiri melambai dan tangan kanan tetap pada gas motor, wajahku berpaling ke kanan ke sumber suara yang memanggil. Ketika aku sadari di depanku sudah ada sebuah becak yang terparkir dengan abang becak yang tertidur di dalamnya. Aku tak mampu mengelak dan mengerem. Akhirnya becak aku tabrak dan atap becak patah, patahan besi menusuk punggung tukang becak. Peristiwa itu membuat orang yang melintas menepikan kendaraannya untuk menolong. Para penolong itu mengeluarkan caci maki yang memerahkan telingga.
“Makanya kalau belum bisa naik motor jangan sok.”
“Ngebut sih bawa motornya.”
Beragam suara yang keluar. Hal itu tidak membuatku gentar. Bapak mengajarkanku untuk bertanggung jawab. Seketika itu pula abang becak aku bawa ke rumah sakit dan becak yang aku tabrak aku titipkan pada temanku yang bergegas datang ke lokasi kejadian. Aku minta becak dibawa ke bengkel terdekat.
“Pak, Nuri salah maafkan Nuri yah. Mulai sekarang Nuri gak mau bawa motor lagi.” Sore itu aku menghadap bapak yang baru pulang dinas.
“Tukang becak bagaimana, Ri?” tanya bapak yang sedang melepas kaos kaki.
“Tukang becak masih di rumah sakit Pak.” Jawabku tertunduk.
“Trus becaknya bagaimana? Rusak parah atau rusak sekali?” bapak bertanya lagi. Kali ini sambil melepaskan ikat pinggang yang sudah menyesakkan badannya seharian.
“Becak sudah Nuri bawa ke bengkel sepeda Pak. Tapi Nuri belum tahu berapa biayanya. Nanti uang jajan Nuri bapak potong aja yah.” Kataku. Kali ini keringat sudah membajiri sebagian tubuhku. Aku tahu hukuman apa yang akan aku terima dari bapak.
“Besok pulang sekolah kita bezuk tukang becak itu.” Kata bapak sambil merebahkan diri di sofa. Aku lihat betapa lelahnya bapak dan aku sudah mengusik istirahat bapak dengan masalahku.  Suasana hening tiba-tiba hanya terdengar suara televisi dan nyanyian dari kamar Susi. Bapak terlihat memejamkan mata. Aku yang melihat bapak seperti itu semakin merasa bersalah. Bapak pasti pusing karena apa yang aku lakukan. Terbayang susahnya bapak karena ulah anaknya ini.
“Pak, mau teh manis.” mama datang dengan segelas teh manis.
“Boleh, Ma masih panaskan?” Bapak bangun dan meminum teh yang dibawa mama.
“Ah, segarnya, manisnya pas.” Bapak puas dengan suguhan mama.
Aku berdiri saja terpaku tak tahu harus berbuat apa sampai bapak menyuruhku duduk di sampingnya.
“Ri, kamu tuh hebat.” Ucapan bapak membuatku terkejut.
“Wah, hebat apanya Pak, sudah menyusahkan tuh dibilang hebat.” Tiba-tiba Susi kakakku muncul dari kamar dan berdiri di pintu kamar sambil memegang radio di tangannya. Rupanya suara nyanyian itu berasal dari radio yang disetel Susi.
“Hebat itu bukan karena salah, hebatnya Nuri bisa bertanggung jawab terhadap apa yang sudah dilakukan. Untuk anak seumur kamu kelas 1 SMP perbuatan kamu tuh sudah hebat.” Kata-kata bapak membuatku lega.
“Nuri hanya melakukan apa yang harus Nuri lakukan, tukang becak itu harus segera ditolong Pak.” Kataku sambil memandang bapak. Kali ini bapak merangkul bahuku. Rasanya tuh mau nangis, dada yang sesak karena bersalah dan badan yang lelah harus mondar-mandir kerumah sakit terbayar sudah.
“Kamu anak bapak yang hebat. Tapi kesalahan kamu dapat jadi pelajaran kalau bawa kendaraan jangan sembarangan yah.” Aku mengangguk tersenyum. Bapak mengacak-acak rambutku dan mendekapku erat. Tak terasa air mata mengalir dari pipiku.
“Wah, ga bisa gitu Pak. Nuri harus dipotong uang jajannya.” Susi keluar dari kamar dan duduk di depan bapak.
“Oh, itu pastilah. Nuri harus bertanggung jawab terhadap biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan abang becak, perbaikan becak, dan uang harian anak-anak tukang becak yang tentu saja selama sepuluh hari bapaknya tidak bisa menarik becak.” Penjelasan bapak membuatku menjauh dan keluar dari dekapan bapak. Baru saja senang sudah harus sedih memikirkan semua biaya yang harus kutanggung. Berapa lama uang jajanku harus dipotong bapak.
Susi yang mendengar penjelasan bapak tertawa senang dan mengejekku. Aku tertunduk kali ini air mata sudah membanjiri pipiku. Bukan sedih memikirkan uang jajan yang tidak aku terima entah selama berapa bulan melainkan mengapa bapak tidak punya solusi dari amsalahku. Katanya anak kelas satu SMP, akukan anak bapak masa bapak tidak mau membantu. Jadi buat apa artinya orangtua bagi anak seumur aku. Memikirkan itu tangisanku berubah menjadi isakan yang akhirnya terdengar oleh bapak.
“Rasakan tuh makanya jangan gaya-gayaan.” Susi mengejekku dan berlari ke kamar. Rasanya Susi puas melihat aku seperti itu. Padahal Susi tidak pernah membantu mama mengantar makanan. Susi tidak bisa mengendarai motor. Kalau diminta mama naik becak mengantarkan makanan untuk tukang, banyak alasan Susi untuk menolak. Senjata paling ampuh adalah sakitnya.
“Mulai sekarang, Nuri harus menggosok kepala ikat pinggang bapak dan menyemir sepatu bapak sampai mengilap. Itu hukumannya dan dilakukan selama dua bulan.” Ucapan bapak membuatku tersentak. Selama ini tugas itu tidak pernah dilakukan oelh siapa pun. Kata mama kalau dilakukan orang lain, bapak tidak puas kurang bersih, kurang mengilap, dan kurang pas untuk ukuran bapak. Kali ini bapak mempercayai padaku. Mama saja tidak pernah dipercaya untuk melakukan tugas itu.
“Bapak gak memotong uang jajanku?” tanyaku sambil memandang bapak. Kali ini bapak tersenyum dan mengacak-acak rambutku lagi.
“Upah pekerjaan itu sepadan dengan semua tanggung jawab yang sudah kamu lakukan.” Kata bapak lagi.
“Kalau yang Nuri kerjakan kurang bersih dan tidak kilap bagaimana Pak?” tanyaku hati-hati kali ini akau takut salah karena semua atribut bapak harus benar-benar kinclong.
“Nuri sanggup gak?” sebelum bapak membatalkan niatnya, buru-buru aku mengangguk setuju. Kata bapak. Aku sudah bisa diberi kepercayaan merawat semua atribut pakaian bapak. Pekerjaanku yang suka menolong mama ternyata diperhatikan bapak. Tak kuasa rasanya membendung perasaan ini. Aku berteriak dan memeluk bapak.
Bapak memang hebat bukan aku yang hebat. Bapak tahu pelajaran apa yang bisa aku ambil dari musibah ini. Susi yang tahu kalau hukuman bapak adalah membersihkan atribut pakaian dinas bapak, tidak terima. Kata Susi pekerjaan itu hanya sepele saja dan iapun bisa melakukan. Bapak menegaskan kalau keputusan bapak harus dihormati.  Hebatnya bapak untuk meredam marah Susi, bapak menjanjikan kalau di rumah baru nanti, Susi akan mendapat satu kamar yang besar. Kali ini Susi menyetujui dan senang sekali karena akan mendapat ruang kamar sendiri.
Adikku Tita senang karena uang jajanku masih utuh, itu berarti aku dan Tita bisa makan bakso sepulang sekolah.  Aku dan Tita selalu menyisihkan uang jajan setiap hari. Uang tersebut kami gunakan untuk makan bakso mini di dekat sekolah setiap hari Jumat. Kalau uang jajanku dipotong pastinya aku akan minta bakso Tita dan itu membuat Tita harus makan bakso sedikit. Kejadian itu membuatku berhati-hati berkendaraan.
**************
 Rumah yang dibangun memang besar untuk ukuran keluargaku yang biasa menempati rumah kompleks.  Luas  tanah di rumah ini 15 x 20 M2. Kamar tidur di rumah baru ini ada empat. Ini berarti ada perubahan dalam pembagian kamar. Kamar di rumah baru ini sangat luas dibandingkan rumah kami di kompleks. Ada tiga kamar berukuran 5x 5 M2 terbayangkan luasnya kamar yang akan kami tempati. Satu kamar lagi berukuran 3 x 3 M2  kata mama kamar itu buat adik bungsuku Awan. Bapak dan mama pasti menempati kamar tidur paling depan. Itu berarti ada dua kamar lagi dan aku bisa membaca pikiran bapak untuk menepati janjinya, pastinya satu kamar buat kakakku Susi dan satu lagi buat aku dan adikku Tita. Tebakanku tak meleset, aku tahu jalan pikiran bapak. Susi tak mungkin bersamaku atau Tita apalagi bapak sudah menjanjikan sebuah kamar untuk Susi. Selain itu bapak melihat bahwa semakin beranjak remaja, Susi sibuk dengan dunianya. Kerjanya hanya di kamar mendengarkan musik dan menonton televisi tanpa mau diganggu. Dunia Susi memang berbeda dengan aku dan Tita. Selama ini tak ada teman Susi yang berkunjung ke rumah kami. Tidak seperti aku dan Tita, teman-teman selalu berkunjung ke rumah. Sekadar main atau belajar bersama.
Rumah ini juga rumah masa kecil walaupun aku sudah beranjak remaja ketika menempati rumah ini. Di depan rumah baru ini ada masjid kecil hasil wakaf dari seorang juragan tanah. Seiring perjalanan waktu dan pertambahan penduduk masjid ini melebar. Ada jalan yang lumayan lebar bisa dilalui dua mobil yang berselisihan. Di depan pagar masjid ada pohon buah kawista yang menempel dengan tembok pos kamling. Pohon ini selalu berbuah  tak mengenal musim. Bila buahnya yang berkulit keras ini matang pasti jatuh dan meninggalkan harum buah yang sungguh nikmat. Sayangnya aku tak menemukan pohon ini di Jakarta atau bahkan di daerah yang kusinggahi.
Sejalan dengan pelebaran masjid, pohon kawista ditebang. Sungguh disayangkan karena buah ini sangat langka. Bentuk buah yang termasuk kelompok jeruk-jerukan yang satu ini seukuran apel bersama kulit yang kuat dan juga tebal mirip dengan batok kelapa serta bersisik semisal kulit melon. kulit buah kawista ini memiliki warna cokelat muda saat matang dan juga putih kekuningan saat masih muda, lagi dagingnya memiliki warna cokelat bersama biji-biji yang berukuran kecil 5 sampai 6 mm, berlendir dan juga enggak berasa yang jumlahnya cukup banyak. Daging buahnya lembut dan masam namun legit berwarna coklat seperti dodol. Harumnya buah kawista dapat tercium ketika angin membawa harum buah yang matang dari atas pohon. Konon, buah kawista ini berasal dari india namun sudah menyebar luas ke wilayah kewilayah asia tenggara dan termasuk ke indonesia.
Unik sekali buah kawista ini saat masih muda. Buah kawista ini rasanya begitu pekat dan asam segar sampai banyak yang menjadikannya sebagai bahan untuk rujak.  Aku sering membuat rujak dengan adikku bila tanpa sengaja melintas dan buah kawista mengejek minta untuk dipetik padahal masih muda. Saat telah matang, buahnya akan terasa manis legit sekali dan lezat serta memiliki kandungan sensasi cola walaupun zat sodanya tidak tinggi. kalau matangnya pada pohon, buah kawista akan mengeluarkan aroma yang begitu harum dan tidak jarang buahnya akan jatuh sendiri ke tanah. kalau ini terjadi daging buah kawista akan tetap aman sebab kulitnya yang begitu tebal cukup dapat melindungi buah yang ada di dalamnya.
Rumah ini juga menjadikan aku semakin mengenal sosok bapak. Jalan menuju rumah kami bila musim hujan pasti tidak bisa dilewati motor apalagi mobil. Seperti kembali ke kampung yang jauh dari Jakarta. Tanah liat dan hamparan  sawah yang membentang layaknya bermukim di kampung. Belum lagi listrik yang belum menjamah daerah rumahku ini yang membuat aku harus selalu ada di rumah bila malam tiba. Setiap malam aku dan adik-adikku belajar menggunakan petromak yang bergantian dipompa bila nyala sinarnya meredup. Kadang aku berpikir, sebenarnya aku tinggal di Jakarta atau di kampung yah? Bapak bercerita bahwa masih ada binatang melata yang akan  membuat kami takut. Awalnya aku tak percaya, setelah menyaksikan sendiri binatang ini melata di depanku ketika aku asyik tidur di lantai. Binatang melata ini membuatku menjerit dan jijik.
“Aduh, bapak seram banget sih. Gak ada lampu, banyak ular, sepi lagi.” Itu protes Susi di hari pertama kami tinggal.
“Pak, balik lagi yah ke rumah kompleks.” Pinta adikku Tita.
“Kemana-mana susah, Pak. Masih magrib aja sudah gak bisa kemana-mana.”  Aku ikut menimpali.
Keluhan hari pertama di rumah baru ini hanya ditangapi bapak dengan senyum dan ucapan “sabar pasti ada waktunya.” Teman-temanku tak banyak yang berkunjung ke rumah baru ini. Selain jauh dari kendaraan umum, juga jalan rumah kami yang sulit dilalui oleh sepeda sekalipun.
Jalan tanah yang dijadikan jalan menuju kampung rumah kami adalah tanah liat yang melekat di sepatu atau sandal yang kami kenakan. Kadang aku dan adikku tak memakai sepatu untuk berangkat ke sekolah. Di ujung jalan beraspal, baru aku dan adikku memakai sepatu setelah mencuci terlebih dahulu kaki kami yang belepotan tanah. Keadaan yang amat menyiksa terjadi apabila musim hujan tiba. Selain tanah menempel di kaki dan sepatu, juga aku dan warga kampung suka terpeleset karena licinnya jalan yang kami lalui.  Kalau sudah demikian aku sering belepotan tanah sampai sekolah bahkan karena malu aku sering bolos tidak masuk sekolah, pulang lagi ke rumah.
Melihat situasi jalan yang sering merugikan warga, bapak memiliki ide untuk bergotong royong membangun jalan agar mudah dilalui. Bapak mengumpulkan para tetua kampung dan para pemuda dan secara swadaya dan swadana dimulailah pembangunan jalan.
“Pak haji, kita harus perbaiki akses jalan biar mudah semua urusan.” Aku dengar bapak ngobrol dengan pak haji Gofur seorang sesepuh kampung. Bapak meminta dukungan agar rencana memperbaiki jalan bisa didukung oleh warga asli. Keluarga kami adalah kaum pendatang, kata bapak tidak etis kalau melangkahi warga asli yang memang sudah sangat dikenal masyarakat. Proses yang kata bapak lobi dilakukan di masjid sambil berbincang hangat selepas sholat magrib sambil menunggu waktu isya.
“Wah repot banget yak kalo suruh kumpulin duit, kan tahu sendiri warga pada males kalo disuruh sumbangan.” Kata haji Gopur dengan logat Betawinya yang kental.
Bapak membeberkan usul tentang pembangunan jalan dengan detail. Aku ikut mendengar karena kebetulan selepas magrib, aku ikut pengajian oleh pak Ustad ali. Usulan bapak bisa diterima oleh para sesepuh kampung terutama Haji Gopur. Aku belajar dari bapak, Haji Gopur adalah sesepuh kampung, kalau Haji Gopur setuju pastinya warga asli kampung akan mengikuti Haji Gopur. Ah, politik berbisnis bapak memang luar biasa. Jadi tak perlu merayu semua warga. Cukup ambil hati Haji Gopur.
Warga yang memiliki materi menyumbangkan uang untuk membeli bahan material. Warga yang tidak memiliki materi, bapak minta membantu pembangunan jalan dengan tenaga. Selama tiga bulan setiap hari Sabtu dan Minggu para warga bahu-membahu membangun jalan kampung.  Akhinya jalan kampung bisa dilalui dengan nyaman walau hanya dari adukan semen dan sampah besi. Jalan rumahku sudah nyaman dan tidak kotor  bila dilalui. Jalan yang belum mulus seperti jalan aspal kini terbentang di depan mata. Semua warga senang, mereka berterima kasih pada bapak.
Acara peresmian jalan kampung sengaja diadakan walau hanya makan-makan kecil. Setiap keluarga membawa tampah yang berisi nasi, lauk (ada ikan dan telor rebus), dan sambal. Mama dan beberapa ibu membuat sayur asem yang katanya sayurnya orang Jakarta. Semua makanan digelar di sepanjang jalan waktu itu sudah sore.  Kami duduk beralas tikar yang sengaja digelar. Ide bapak ini benar-benar luar biasa. Aku bisa mengenal setiap warga kampung tanpa harus susah payah mendatangi satu persatu.
Di kampung itu bapak memang menjadi tokoh panutan. Ada saja warga yang berselisih datang ke rumah kami untuk meminta bapak membantu perselisihan mereka. Ada masalah utang piutang, masalah pertengkaran antartetangga, bahkan pertengkaran suami istri. Aku semakin kagum pada bapak yang mampu menyelesaikan semua persoalan itu dengan bijak.
Pohon kawista di depan rumah menjadi saksi juga perkenalanku dengan seorang pemuda kampung yang mampu menggetarkan hatiku. Kepindahan kami ke rumah ini membuat kampung menjadi bertambah penghuni. Pemuda itu anak ketua RT dan juga juragan tanah. Sikapnya yang santun dan baik menjadi aku terpana. Usiaku masih 14 tahun ketika hatiku mulai merasakan dawai cinta. Masih bau kencur kata bapak jadi tak usah macam-macam. Waktu itu bapak melihat kedekatanku dengan pemuda itu.Kisah cinta yang kurasakan indah dan penuh warna. Selama pembangunan jalan, pemuda itu yang usianya lebih tua dariku hanya terpaut dua tahun turut serta menyukseskan pembangunan jalan. Badannya yang tegap dan gagah mampu mencuri hatiku.
Kisah cintaku yang kata bapak masih bau kencur hanya sebatas curi-curi pandang saja. Setiap lewat depan rumahnya aku selalu mencari alasan agar dapat berhenti dan memandang rumahnya. Surat cinta yang aku terima kala itu sungguh romantis dan menakutkan. Yah memang romantis karena aku baru menerima surat dari seorang pria. Menakutkan karena aku membaca surat di kamar mandi hanya diterangi oleh nyala lilin. Hal itu aku lakukan karena aku tak sabar membacanya menunggu matahari esok sangatlah lama. Pujaanku itu memberikan surat ketika kami bertemu sehabis shalat magrib. Ternyata selain aku yang penasaran membaca surat, ada makhluk lain yang juga ikutan membaca surat. Ia melata tepat di depan kakiku yang tegak berdiri. Aku tahu ada binatang itu ketika aku rasakan benda licin menyentuh kakiku. Karena aku fokus pada surat di tangan hingga kehadiran makhluk itu tak aku rasakan. Aku menjerit lari keluar kamar mandi setelah tahu makluk tanpa ekor yang licin dekat di kakiku. Rupanya makhluk itu masuk lewat lubang air di kamar mandi.
**************
“Nuri, kalau dia sayang dengan kamu, pasti gak akan membuat malu kamu apalagi bapak.” Hari itu bapak menemukan pemuda pujaan hatiku mabuk karena minum-minuman keras di poskamling. Pemuda pujaan hatiku, subuh itu tergeletak di pos kamling dengan bau alkohol dari mulutnya. Aku yang melihat keadaan pujaan hatiku seperti itu menjadi jengkel, marah, sakit hati. Benar kata bapak, pemuda itu tidak mencintaiku. Ia tidak tahu menjaga diri dan juga perasaanku. Sedih memang tapi aku harus mengambil sikap, masa remaja yang indah harus diperhitungkan. Hari itu juga aku memutuskan tali kasih kami. Toh aku masih SMA belum cukup untuk lebih serius menjalin hubungan.
Bapak benar usia remaja bukan untuk berkasih-kasihan tapi memperjuangakan dan meraih prestasi. Jalanku masih panjang dan aku tak akan menjadikan masa remajaku bagai benang kusut dalam episode percintaan yang tidakpenting. Hari itu aku tahu semua yang dilakukan bapak bukan karena membatasi pergaulanku, tapi menjagaku anakknya dari pergaulan bebas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Literasi Bulan Oktober

Literasi Dugas kali ini paparan Literasi di lapangan. Paparan Literasi diwakili empat orang siswa dari kelas 7 C dan 7 D, kelas 8 C, dan kel...