Tak Cukup Hanya Rumah
Seni Asiati, M.Pd
Guru SMPN 231
****** Rumah Dongkel
Rumah ini adalah
rumah keluargaku yang penuh perjuangan. Bukan karena rumah yang lain tidak ada
perjuangan. Rumah ini semua cerita terbangun dengan penuh warna. Tahun 1980
daerah pinggiran di Jakarta masih belum terjamah listrik. Sebenarnya rumah
perjuangan ini tidak jauh dari kompleks yang kami tinggali masih dalam satu
kecamatan bahkan satu kelurahan. Hanya saja daerah ini terletak agak jauh dari
jalan raya dan memang masih sepi. Tahun 1980
daerah rumah ini masih banyak sawah, jalan belum beraspal, listrik belum
masuk, dan air bersih belum tersedia. Akses jalan menuju ke rumah perjuangan
masih sulit. Jalan yag harus dilalui dari tanah yang licin bila musim hujan dan
kering berdebu jika kemarau. Warga juga harus berjalan jauh untuk naik angkutan
umum. Transportasi menuju jalan raya tidak ada hanya bisa berjalan kaki sejauh
2 km.
Awalnya aku dan
saudaraku takut tinggal di rumah yang
dibangun bapak. Biasanya kami selalu tinggal di kompleks. Rumah pertama tempat
aku dilahirkan di daerah sejuk dan dingin Cipanas, Jawa Barat sebuah kompleks
istana Presiden Cipanas. Bapak bertugas di istana waktu itu. Kami biasa
menyebut rumah Cipanas. Kemudian kami pindah ke Jakarta dan tinggal di rumah
Mambo. Rumah Bor Panas juga rumah masa kecilku. Bapak adalah abdi negara
sehingga aku dan keluarga harus mengikuti kemana bapak bertugas. Setiap rumah
memiliki cerita yang berkisah berbeda. Rumah Cipanas tidak banyak yang bisa aku
ceritakan. Aku masih terlalu kecil untuk mengingat rumah Cipanas. Yang aku
ingat adalah delman dan pohon cemara menuju kompleks rumah Cipanas. Rumah Mambo
ada sedikit cerita disitu. Kedua rumah
itu adalah rumah masa kecil yang sungguh indah untuk sekadar diingat. Terutama
rumah Cipanas tempat kelahiranku.
Bapak memiliki
cerita sendiri dengan rumah Cipanas. Udara yang sejuk dan alam pegunungan yang
asri maklum terletak di daerah puncak. Kenangan bapak banyak sekali di rumah
Cipanas. Bapak memulai karier pekerjaannya di daerah ini. Sebuah kompleks untuk
para pengawal yang bekerja di Istana Cipanas. Sebagian orang Indonesia tahu
Istana Cipanas ini. Sewaktu aku kecil pelataran depan istana bisa kami masuki,
itu pun bila keluarga istana tidak ada yang berkunjung atau tidak ada acara di
istana. Bahkan kelahiranku menurut mama dibantu oleh ibu bidan istana, atau
yang biasa membantu persalinan anak-anak pegawai istana.
Rumas Cipanas
adalah saksi sejarah bagaimana bapak membangun karirnya. Setiap sudut kompleks
istana dan perumahan menjadi sudut-sudut indah untuk dikenang bapak. Bapak
selalu mengajak berlibur ke Cipanas. Tidak ada sanak saudara yang bisa kami
datangi. Biasanya aku akan memesan hotel atau villa. Bapak selalu semangat bila
diajak berlibur ke dearah Cipanas. Ada saja cerita bapak bila diajak berkunjung
ke Cipanas.
“Ini dulu tempat
bapak latihan.” Kata bapak ketika kami berlibur ke Cipanas. Bapak akan semangat bercerita pada anakku
Naldi. Tak heran kalau cita-cita Naldi mengikuti jejak bapak.
**********
“Kumpul semua di
ruang tamu yah.” Kata bapak selepas bapak makan malam. Waktu itu kami masih di
Rumah Cilincing, seingatku tiga bulan setelah kakakku Iwan meninggalkan kami.
“Ada apa Pak?”
tanya Susi yang memang sedang asyik dengan radio yang memutar sandiwara radio
yang kata Susi cukup seru dan sayang ditinggalkan. Aku pernah mencuri dengar
sandiwara radio itu sewaktu tidur malam. Hanya saja kalau aku dan Tita mencuri
dengar, kakakku Susi akan marah dan buru-buru mematikan radio.
“Hari Minggu
kita pindah rumah, kalian harus membereskan semua barang-barang kalian sendiri,
sementara bapak dan mama membereskan barang-barang yang ada di rumah ini.”
Bapak memberitahu dengan jelas dan tegas bahwa semua barang kepunyaan aku dan
saudaraku harus dikemas sendiri. Bapak dan mama sudah menyiapkan beberapa
kardus bekas yang bisa kami pakai.
“Ri, itu semua
barang-barangku kamu sama Tita yang mengemas yah. Aku gak enak badan nih.”
Kakakku Susi sudah memberi perintah dan jangan harap aku dan Tita menolak.
Pernah aku menolak dan Susi marah sambil berteriak-teriak yang membuat malu
bapak dan mama. Kejadian itu sering terjadi dan jadi senjata Susi agar kami
menuruti perintahnya. Aku tentu saja malu kalau harus bertengkar dengan Susi
dan mendengar teriakan Susi. Tetangga sebelah rumah orang Jawa yang tutur
katanya selalu lembut. Kadang tetangga ikut menenangkan Susi untuk diam.
Rumah ini
dibangun oleh bapak dan mama dua kali lipat lebih luas daripada rumah Mambo dan
rumah Cilincing. Proses pembangunan juga membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Kata mama semua perhiasan mama habis dijual demi mewujudkan rumah impian
keluarga. Aku yang pada waktu itu sudah bisa mengendarai motor, sering
ditugaskan mama mengantar makanan untuk tukang yang mengerjakan pembangunan
rumah.
Ada satu cerita
yang aku ingat ketika aku mengatarkan makanan. Hari itu sepulang mengantar
makanan, aku pulang ke rumah sendiri. Mama tidak ikut tinggal di rumah yang
sedang dibangun Motor yang aku kendarai melewati rumah teman sekolahku. Temanku
melihat aku melintas kemudian berteriak memanggil namaku. Aku yang mendengar panggilan
itu menoleh dan melambaikan tangan. Rupanya aku melaju cukup kencang tangan
kiri melambai dan tangan kanan tetap pada gas motor, wajahku berpaling ke kanan
ke sumber suara yang memanggil. Ketika aku sadari di depanku sudah ada sebuah
becak yang terparkir dengan abang becak yang tertidur di dalamnya. Aku tak
mampu mengelak dan mengerem. Akhirnya becak aku tabrak dan atap becak patah,
patahan besi menusuk punggung tukang becak. Peristiwa itu membuat orang yang
melintas menepikan kendaraannya untuk menolong. Para penolong itu mengeluarkan
caci maki yang memerahkan telingga.
“Makanya kalau
belum bisa naik motor jangan sok.”
“Ngebut sih bawa
motornya.”
Beragam suara
yang keluar. Hal itu tidak membuatku gentar. Bapak mengajarkanku untuk
bertanggung jawab. Seketika itu pula abang becak aku bawa ke rumah sakit dan
becak yang aku tabrak aku titipkan pada temanku yang bergegas datang ke lokasi
kejadian. Aku minta becak dibawa ke bengkel terdekat.
“Pak, Nuri salah
maafkan Nuri yah. Mulai sekarang Nuri gak mau bawa motor lagi.” Sore itu aku
menghadap bapak yang baru pulang dinas.
“Tukang becak
bagaimana, Ri?” tanya bapak yang sedang melepas kaos kaki.
“Tukang becak
masih di rumah sakit Pak.” Jawabku tertunduk.
“Trus becaknya
bagaimana? Rusak parah atau rusak sekali?” bapak bertanya lagi. Kali ini sambil
melepaskan ikat pinggang yang sudah menyesakkan badannya seharian.
“Becak sudah
Nuri bawa ke bengkel sepeda Pak. Tapi Nuri belum tahu berapa biayanya. Nanti
uang jajan Nuri bapak potong aja yah.” Kataku. Kali ini keringat sudah
membajiri sebagian tubuhku. Aku tahu hukuman apa yang akan aku terima dari
bapak.
“Besok pulang
sekolah kita bezuk tukang becak itu.” Kata bapak sambil merebahkan diri di sofa.
Aku lihat betapa lelahnya bapak dan aku sudah mengusik istirahat bapak dengan
masalahku. Suasana hening tiba-tiba
hanya terdengar suara televisi dan nyanyian dari kamar Susi. Bapak terlihat
memejamkan mata. Aku yang melihat bapak seperti itu semakin merasa bersalah.
Bapak pasti pusing karena apa yang aku lakukan. Terbayang susahnya bapak karena
ulah anaknya ini.
“Pak, mau teh
manis.” mama datang dengan segelas teh manis.
“Boleh, Ma masih
panaskan?” Bapak bangun dan meminum teh yang dibawa mama.
“Ah, segarnya,
manisnya pas.” Bapak puas dengan suguhan mama.
Aku berdiri saja
terpaku tak tahu harus berbuat apa sampai bapak menyuruhku duduk di sampingnya.
“Ri, kamu tuh
hebat.” Ucapan bapak membuatku terkejut.
“Wah, hebat
apanya Pak, sudah menyusahkan tuh dibilang hebat.” Tiba-tiba Susi kakakku
muncul dari kamar dan berdiri di pintu kamar sambil memegang radio di
tangannya. Rupanya suara nyanyian itu berasal dari radio yang disetel Susi.
“Hebat itu bukan
karena salah, hebatnya Nuri bisa bertanggung jawab terhadap apa yang sudah
dilakukan. Untuk anak seumur kamu kelas 1 SMP perbuatan kamu tuh sudah hebat.”
Kata-kata bapak membuatku lega.
“Nuri hanya
melakukan apa yang harus Nuri lakukan, tukang becak itu harus segera ditolong
Pak.” Kataku sambil memandang bapak. Kali ini bapak merangkul bahuku. Rasanya
tuh mau nangis, dada yang sesak karena bersalah dan badan yang lelah harus
mondar-mandir kerumah sakit terbayar sudah.
“Kamu anak bapak
yang hebat. Tapi kesalahan kamu dapat jadi pelajaran kalau bawa kendaraan
jangan sembarangan yah.” Aku mengangguk tersenyum. Bapak mengacak-acak rambutku
dan mendekapku erat. Tak terasa air mata mengalir dari pipiku.
“Wah, ga bisa
gitu Pak. Nuri harus dipotong uang jajannya.” Susi keluar dari kamar dan duduk
di depan bapak.
“Oh, itu
pastilah. Nuri harus bertanggung jawab terhadap biaya yang dikeluarkan untuk
pengobatan abang becak, perbaikan becak, dan uang harian anak-anak tukang becak
yang tentu saja selama sepuluh hari bapaknya tidak bisa menarik becak.”
Penjelasan bapak membuatku menjauh dan keluar dari dekapan bapak. Baru saja
senang sudah harus sedih memikirkan semua biaya yang harus kutanggung. Berapa
lama uang jajanku harus dipotong bapak.
Susi yang
mendengar penjelasan bapak tertawa senang dan mengejekku. Aku tertunduk kali
ini air mata sudah membanjiri pipiku. Bukan sedih memikirkan uang jajan yang
tidak aku terima entah selama berapa bulan melainkan mengapa bapak tidak punya
solusi dari amsalahku. Katanya anak kelas satu SMP, akukan anak bapak masa
bapak tidak mau membantu. Jadi buat apa artinya orangtua bagi anak seumur aku.
Memikirkan itu tangisanku berubah menjadi isakan yang akhirnya terdengar oleh
bapak.
“Rasakan tuh
makanya jangan gaya-gayaan.” Susi mengejekku dan berlari ke kamar. Rasanya Susi
puas melihat aku seperti itu. Padahal Susi tidak pernah membantu mama mengantar
makanan. Susi tidak bisa mengendarai motor. Kalau diminta mama naik becak
mengantarkan makanan untuk tukang, banyak alasan Susi untuk menolak. Senjata
paling ampuh adalah sakitnya.
“Mulai sekarang,
Nuri harus menggosok kepala ikat pinggang bapak dan menyemir sepatu bapak
sampai mengilap. Itu hukumannya dan dilakukan selama dua bulan.” Ucapan bapak
membuatku tersentak. Selama ini tugas itu tidak pernah dilakukan oelh siapa
pun. Kata mama kalau dilakukan orang lain, bapak tidak puas kurang bersih,
kurang mengilap, dan kurang pas untuk ukuran bapak. Kali ini bapak mempercayai
padaku. Mama saja tidak pernah dipercaya untuk melakukan tugas itu.
“Bapak gak
memotong uang jajanku?” tanyaku sambil memandang bapak. Kali ini bapak
tersenyum dan mengacak-acak rambutku lagi.
“Upah pekerjaan
itu sepadan dengan semua tanggung jawab yang sudah kamu lakukan.” Kata bapak
lagi.
“Kalau yang Nuri
kerjakan kurang bersih dan tidak kilap bagaimana Pak?” tanyaku hati-hati kali
ini akau takut salah karena semua atribut bapak harus benar-benar kinclong.
“Nuri sanggup
gak?” sebelum bapak membatalkan niatnya, buru-buru aku mengangguk setuju. Kata
bapak. Aku sudah bisa diberi kepercayaan merawat semua atribut pakaian bapak.
Pekerjaanku yang suka menolong mama ternyata diperhatikan bapak. Tak kuasa rasanya
membendung perasaan ini. Aku berteriak dan memeluk bapak.
Bapak memang
hebat bukan aku yang hebat. Bapak tahu pelajaran apa yang bisa aku ambil dari
musibah ini. Susi yang tahu kalau hukuman bapak adalah membersihkan atribut
pakaian dinas bapak, tidak terima. Kata Susi pekerjaan itu hanya sepele saja
dan iapun bisa melakukan. Bapak menegaskan kalau keputusan bapak harus
dihormati. Hebatnya bapak untuk meredam
marah Susi, bapak menjanjikan kalau di rumah baru nanti, Susi akan mendapat
satu kamar yang besar. Kali ini Susi menyetujui dan senang sekali karena akan
mendapat ruang kamar sendiri.
Adikku Tita
senang karena uang jajanku masih utuh, itu berarti aku dan Tita bisa makan
bakso sepulang sekolah. Aku dan Tita
selalu menyisihkan uang jajan setiap hari. Uang tersebut kami gunakan untuk
makan bakso mini di dekat sekolah setiap hari Jumat. Kalau uang jajanku
dipotong pastinya aku akan minta bakso Tita dan itu membuat Tita harus makan
bakso sedikit. Kejadian itu membuatku berhati-hati berkendaraan.
**************
Rumah yang dibangun memang besar untuk ukuran keluargaku
yang biasa menempati rumah kompleks. Luas tanah di rumah ini 15 x 20 M2.
Kamar tidur di rumah baru ini ada empat. Ini berarti ada perubahan dalam
pembagian kamar. Kamar di rumah baru ini sangat luas dibandingkan rumah kami di
kompleks. Ada tiga kamar berukuran 5x 5 M2 terbayangkan luasnya
kamar yang akan kami tempati. Satu kamar lagi berukuran 3 x 3 M2 kata mama kamar itu buat adik bungsuku Awan.
Bapak dan mama pasti menempati kamar tidur paling depan. Itu berarti ada dua
kamar lagi dan aku bisa membaca pikiran bapak untuk menepati janjinya, pastinya
satu kamar buat kakakku Susi dan satu lagi buat aku dan adikku Tita. Tebakanku
tak meleset, aku tahu jalan pikiran bapak. Susi tak mungkin bersamaku atau Tita
apalagi bapak sudah menjanjikan sebuah kamar untuk Susi. Selain itu bapak
melihat bahwa semakin beranjak remaja, Susi sibuk dengan dunianya. Kerjanya
hanya di kamar mendengarkan musik dan menonton televisi tanpa mau diganggu. Dunia
Susi memang berbeda dengan aku dan Tita. Selama ini tak ada teman Susi yang
berkunjung ke rumah kami. Tidak seperti aku dan Tita, teman-teman selalu
berkunjung ke rumah. Sekadar main atau belajar bersama.
Rumah ini juga
rumah masa kecil walaupun aku sudah beranjak remaja ketika menempati rumah ini.
Di depan rumah baru ini ada masjid kecil hasil wakaf dari seorang juragan
tanah. Seiring perjalanan waktu dan pertambahan penduduk masjid ini melebar.
Ada jalan yang lumayan lebar bisa dilalui dua mobil yang berselisihan. Di depan
pagar masjid ada pohon buah kawista yang menempel dengan tembok pos kamling.
Pohon ini selalu berbuah tak mengenal
musim. Bila buahnya yang berkulit keras ini matang pasti jatuh dan meninggalkan
harum buah yang sungguh nikmat. Sayangnya aku tak menemukan pohon ini di
Jakarta atau bahkan di daerah yang kusinggahi.
Sejalan dengan
pelebaran masjid, pohon kawista ditebang. Sungguh disayangkan karena buah ini
sangat langka. Bentuk buah yang termasuk
kelompok jeruk-jerukan yang satu ini seukuran apel bersama kulit yang kuat dan
juga tebal mirip dengan batok kelapa serta bersisik semisal kulit melon. kulit
buah kawista ini memiliki warna cokelat muda saat matang dan juga putih
kekuningan saat masih muda, lagi dagingnya memiliki warna cokelat bersama
biji-biji yang berukuran kecil 5 sampai 6 mm, berlendir dan juga enggak berasa
yang jumlahnya cukup banyak. Daging buahnya lembut dan masam namun legit
berwarna coklat seperti dodol. Harumnya buah kawista dapat tercium ketika angin
membawa harum buah yang matang dari atas pohon.
Konon, buah kawista ini berasal dari india namun sudah menyebar luas ke wilayah
kewilayah asia tenggara dan termasuk ke indonesia.
Unik
sekali buah kawista ini saat masih muda. Buah kawista ini rasanya begitu pekat
dan asam segar sampai banyak yang menjadikannya sebagai bahan untuk rujak. Aku sering membuat rujak dengan adikku bila
tanpa sengaja melintas dan buah kawista mengejek minta untuk dipetik padahal
masih muda. Saat telah matang, buahnya akan terasa manis legit sekali dan lezat
serta memiliki kandungan sensasi cola walaupun zat sodanya tidak tinggi. kalau
matangnya pada pohon, buah kawista akan mengeluarkan aroma yang begitu harum
dan tidak jarang buahnya akan jatuh sendiri ke tanah. kalau ini terjadi daging
buah kawista akan tetap aman sebab kulitnya yang begitu tebal cukup dapat
melindungi buah yang ada di dalamnya.
Rumah ini juga
menjadikan aku semakin mengenal sosok bapak. Jalan menuju rumah kami bila musim
hujan pasti tidak bisa dilewati motor apalagi mobil. Seperti kembali ke kampung
yang jauh dari Jakarta. Tanah liat dan hamparan
sawah yang membentang layaknya bermukim di kampung. Belum lagi listrik
yang belum menjamah daerah rumahku ini yang membuat aku harus selalu ada di
rumah bila malam tiba. Setiap malam aku dan adik-adikku belajar menggunakan
petromak yang bergantian dipompa bila nyala sinarnya meredup. Kadang aku
berpikir, sebenarnya aku tinggal di Jakarta atau di kampung yah? Bapak
bercerita bahwa masih ada binatang melata yang akan membuat kami takut. Awalnya aku tak percaya,
setelah menyaksikan sendiri binatang ini melata di depanku ketika aku asyik
tidur di lantai. Binatang melata ini membuatku menjerit dan jijik.
“Aduh, bapak
seram banget sih. Gak ada lampu, banyak ular, sepi lagi.” Itu protes Susi di
hari pertama kami tinggal.
“Pak, balik lagi
yah ke rumah kompleks.” Pinta adikku Tita.
“Kemana-mana
susah, Pak. Masih magrib aja sudah gak bisa kemana-mana.” Aku ikut menimpali.
Keluhan hari
pertama di rumah baru ini hanya ditangapi bapak dengan senyum dan ucapan “sabar
pasti ada waktunya.” Teman-temanku tak banyak yang berkunjung ke rumah baru
ini. Selain jauh dari kendaraan umum, juga jalan rumah kami yang sulit dilalui
oleh sepeda sekalipun.
Jalan tanah yang
dijadikan jalan menuju kampung rumah kami adalah tanah liat yang melekat di
sepatu atau sandal yang kami kenakan. Kadang aku dan adikku tak memakai sepatu
untuk berangkat ke sekolah. Di ujung jalan beraspal, baru aku dan adikku
memakai sepatu setelah mencuci terlebih dahulu kaki kami yang belepotan tanah.
Keadaan yang amat menyiksa terjadi apabila musim hujan tiba. Selain tanah
menempel di kaki dan sepatu, juga aku dan warga kampung suka terpeleset karena
licinnya jalan yang kami lalui. Kalau
sudah demikian aku sering belepotan tanah sampai sekolah bahkan karena malu aku
sering bolos tidak masuk sekolah, pulang lagi ke rumah.
Melihat situasi
jalan yang sering merugikan warga, bapak memiliki ide untuk bergotong royong
membangun jalan agar mudah dilalui. Bapak mengumpulkan para tetua kampung dan
para pemuda dan secara swadaya dan swadana dimulailah pembangunan jalan.
“Pak haji, kita
harus perbaiki akses jalan biar mudah semua urusan.” Aku dengar bapak ngobrol
dengan pak haji Gofur seorang sesepuh kampung. Bapak meminta dukungan agar
rencana memperbaiki jalan bisa didukung oleh warga asli. Keluarga kami adalah
kaum pendatang, kata bapak tidak etis kalau melangkahi warga asli yang memang
sudah sangat dikenal masyarakat. Proses yang kata bapak lobi dilakukan di
masjid sambil berbincang hangat selepas sholat magrib sambil menunggu waktu
isya.
“Wah repot
banget yak kalo suruh kumpulin duit, kan tahu sendiri warga pada males kalo
disuruh sumbangan.” Kata haji Gopur dengan logat Betawinya yang kental.
Bapak
membeberkan usul tentang pembangunan jalan dengan detail. Aku ikut mendengar
karena kebetulan selepas magrib, aku ikut pengajian oleh pak Ustad ali. Usulan
bapak bisa diterima oleh para sesepuh kampung terutama Haji Gopur. Aku belajar
dari bapak, Haji Gopur adalah sesepuh kampung, kalau Haji Gopur setuju pastinya
warga asli kampung akan mengikuti Haji Gopur. Ah, politik berbisnis bapak
memang luar biasa. Jadi tak perlu merayu semua warga. Cukup ambil hati Haji
Gopur.
Warga yang
memiliki materi menyumbangkan uang untuk membeli bahan material. Warga yang
tidak memiliki materi, bapak minta membantu pembangunan jalan dengan tenaga.
Selama tiga bulan setiap hari Sabtu dan Minggu para warga bahu-membahu
membangun jalan kampung. Akhinya jalan
kampung bisa dilalui dengan nyaman walau hanya dari adukan semen dan sampah besi.
Jalan rumahku sudah nyaman dan tidak kotor bila dilalui. Jalan yang belum mulus seperti
jalan aspal kini terbentang di depan mata. Semua warga senang, mereka berterima
kasih pada bapak.
Acara peresmian
jalan kampung sengaja diadakan walau hanya makan-makan kecil. Setiap keluarga
membawa tampah yang berisi nasi, lauk (ada ikan dan telor rebus), dan sambal.
Mama dan beberapa ibu membuat sayur asem yang katanya sayurnya orang Jakarta.
Semua makanan digelar di sepanjang jalan waktu itu sudah sore. Kami duduk beralas tikar yang sengaja
digelar. Ide bapak ini benar-benar luar biasa. Aku bisa mengenal setiap warga kampung
tanpa harus susah payah mendatangi satu persatu.
Di kampung itu
bapak memang menjadi tokoh panutan. Ada saja warga yang berselisih datang ke
rumah kami untuk meminta bapak membantu perselisihan mereka. Ada masalah utang
piutang, masalah pertengkaran antartetangga, bahkan pertengkaran suami istri.
Aku semakin kagum pada bapak yang mampu menyelesaikan semua persoalan itu
dengan bijak.
Pohon kawista di
depan rumah menjadi saksi juga perkenalanku dengan seorang pemuda kampung yang
mampu menggetarkan hatiku. Kepindahan kami ke rumah ini membuat kampung menjadi
bertambah penghuni. Pemuda itu anak ketua RT dan juga juragan tanah. Sikapnya
yang santun dan baik menjadi aku terpana. Usiaku masih 14 tahun ketika hatiku
mulai merasakan dawai cinta. Masih bau kencur kata bapak jadi tak usah
macam-macam. Waktu itu bapak melihat kedekatanku dengan pemuda itu.Kisah cinta
yang kurasakan indah dan penuh warna. Selama pembangunan jalan, pemuda itu yang
usianya lebih tua dariku hanya terpaut dua tahun turut serta menyukseskan
pembangunan jalan. Badannya yang tegap dan gagah mampu mencuri hatiku.
Kisah cintaku
yang kata bapak masih bau kencur hanya sebatas curi-curi pandang saja. Setiap
lewat depan rumahnya aku selalu mencari alasan agar dapat berhenti dan
memandang rumahnya. Surat cinta yang aku terima kala itu sungguh romantis dan
menakutkan. Yah memang romantis karena aku baru menerima surat dari seorang pria.
Menakutkan karena aku membaca surat di kamar mandi hanya diterangi oleh nyala
lilin. Hal itu aku lakukan karena aku tak sabar membacanya menunggu matahari
esok sangatlah lama. Pujaanku itu memberikan surat ketika kami bertemu sehabis
shalat magrib. Ternyata selain aku yang penasaran membaca surat, ada makhluk
lain yang juga ikutan membaca surat. Ia melata tepat di depan kakiku yang tegak
berdiri. Aku tahu ada binatang itu ketika aku rasakan benda licin menyentuh
kakiku. Karena aku fokus pada surat di tangan hingga kehadiran makhluk itu tak
aku rasakan. Aku menjerit lari keluar kamar mandi setelah tahu makluk tanpa
ekor yang licin dekat di kakiku. Rupanya makhluk itu masuk lewat lubang air di
kamar mandi.
**************
“Nuri, kalau dia
sayang dengan kamu, pasti gak akan membuat malu kamu apalagi bapak.” Hari itu
bapak menemukan pemuda pujaan hatiku mabuk karena minum-minuman keras di
poskamling. Pemuda pujaan hatiku, subuh itu tergeletak di pos kamling dengan
bau alkohol dari mulutnya. Aku yang melihat keadaan pujaan hatiku seperti itu
menjadi jengkel, marah, sakit hati. Benar kata bapak, pemuda itu tidak
mencintaiku. Ia tidak tahu menjaga diri dan juga perasaanku. Sedih memang tapi
aku harus mengambil sikap, masa remaja yang indah harus diperhitungkan. Hari itu
juga aku memutuskan tali kasih kami. Toh aku masih SMA belum cukup untuk lebih
serius menjalin hubungan.
Bapak benar usia
remaja bukan untuk berkasih-kasihan tapi memperjuangakan dan meraih prestasi. Jalanku
masih panjang dan aku tak akan menjadikan masa remajaku bagai benang kusut
dalam episode percintaan yang tidakpenting. Hari itu aku tahu semua yang dilakukan
bapak bukan karena membatasi pergaulanku, tapi menjagaku anakknya dari
pergaulan bebas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar