Lipstick
Punya Mama
Kicau
burung membuka rona pagi di padatnya ruang ibu kota. Meida seorang gadis kelas
satu SD berangkat ke sekolah ditemani sang mama tercinta, Yanti (29 th). Meida
digandeng mamanya melewati gang-gang kecil di sepanjang jalan menuju sekolah.
Raut ceria terlihat di wajah manis gadis kecil nan mungil itu. Meida
menggendong tas Sailor Moon warna kuning kesayangannya, dan sang mama membawa
tas merk Hermes kw 3. Sampai di gerbang sekolah, Yanti mecium anaknya, dan
Meida pun segera masuk ke kelas.
Meida
pulang dari sekolah berjalan kaki bersama teman-teman sekolahnya. Yanti sudah
memasak makanan kesukaan Meida gadis kelahiran 12 Mei enam tahun lalu itu. Yaa,
nasi panas dengan sayur kangkung saus tiram dan lauk tumis cumi pedas manis. Ia
hanya memasak untuk dua orang, untuk dia dan anaknya. Sejak ayah Meida
meninggal karena kecelakaan kereta tiga tahun lalu, Yanti menjadi tulang
punggung keluarga kecil yang dibina dalam kesederhanaan itu. Meski dengan
kesederhanaan, mereka tetap hidup bahagia berdua. Kasih sayang seorang ibu
kepada anaknya yang tidak dapat ditukar dengan sebongkah harta karun sekalipun,
seperti itulah Yanti pada gadis kecilnya.
Malam
tiba, Meida pulang mengaji dan membuka buku pelajaran untuk jadwal esok. Di
meja kecil dari rotan dalam sebuah kamar berukuran 2x3 meter dengan penerangan
lampu pijar 40 watt, disitulah Meida belajar. Sang mama datang membawakannya makan malam.
“Cantik,
makan dulu nak. Nanti lanjut lagi belajarnya.” Ujar Yanti
“Mama
udah makan?” sahut
sang anak.
“sudah Nak, nih mama suapin yaa?”
Yanti menyuapi anaknya. Ia
berbohohong karena sebenarnya ia belum makan. Persediaan nasi sudah habis dan
baru bisa esok ia masak lagi. Makan selesai, Meida melanjutkan belajarnya
hingga setengah sepuluh malam. Setelah itu ia tidur, Yanti menunggu anaknya
hingga benar-benar lelap. Meida sudah tampak
benar-benar lelap, Yanti bergegas berangkat mencari lubang rezekinya. Ia mandi,
kemudian memakai baju dan rok mini, ber make
up tebal, dengan high heels 12 cm
warna gold yang dibelinya di Taman
Puring. Sebelum berangkat ia mencium kening anaknya, kemudian segera berangkat
ke tempat uang berdansa. Menjadi penyanyi sebuah club malam adalah pilihan satu-satunya bagi Yanti kerena hanya
bernyanyilah kemampuan yang ia miliki. Walau sebenarnya masih banyak pekerjaan
lain yang bisa ia tekuni, namun ia tetap memilih profesi ini untuk menjadi
benteng dalam kerasnya kehidupan di ibu kota.
Lampu warna-warni, alunan musik
berbagai genre, dan bau alkohol yang
menyengat mewarnai suasana hingar-bingar club
malam. Yanti ada disana, duduk istirahat setelah lelah bergoyang ria membawakan
lagu dangdut permintaan dari pengunjung-pengunjung bermata liar. Yanti tak
meminum alkohol, selain karena tak baik untuk kesehatan, ia pun alergi oleh
minuman itu.
Waktu telah menunjukkan pukul 5 dini
hari.. Kicau burung terdengar ramai membuka rona pagi di belahan bumi ibu kota.
Berbagai aktifitas telah dilakukan warga sekitar pagi itu. Ada yang sedang
menjemur pakaian, mengepel lantai rumah, pergi ke pasar, hingga menstarter motor untuk berangkat kerja.
Yanti pulang dari tempat kerja. Berjalan melewati gang sempit menuju rumahnya
diujung jalan gang. Para tetangga melihatnya sinis, bahkan mengunjing
dibelakangnya. Yanti mengabaikan itu, ia tetap berjalan santai menuju rumah
sederhanya tanpa dosa. Rasanya ingin segera ia bertemu Meida, membangunkannya
untuk sekolah. Sampai dirumah, benar saja Meida yang sulit bangun belum bangun
dari tidur nyenyaknya semalam. Lekas sang ibu membangunkannya, menyuruh
menunaikan sholat Subuh karena waktu telah menunjukkan pukul 05:30 WIB. Meida
bangun, kemudian sholat, mandi, sarapan, dan berangkat ke sekolah. Mata Yanti
yang sebenarnya telah lelah tetap dipaksa untuk melek agar bisa mengantar
anaknya ke sekolah. Rambut Meida telah tersisir rapi serapi baju pramuka yang ia kenakan. Ia dan
ibunya pun bergegas menuju sekolah.
Meida tak pernah mengetahui apa
pekerjaan ibunya yang sebenarnya. Yang ia tahu, ibunya adalah seorang model
cantik yang berangkat malam pulang pagi. Hingga pada suatu malam yang temaram,
Yanti hendak berangkat kerja. Meida belum tidur saat itu. Dihampirilah sang
ibu,
“
Mama, mama lagi apa?” Tanya Meida dengan suara lembutnya.
“Loh
kamu kok belum tidur? Mama mau kerja nak. Sudah sana kamu tidur. Besok sekolah
bukan?” jawab Yanti.
“Besok
aku libur kok mah. Mama kok cantik banget yaa. Tapi mah, ini kan sudah malam,
dingin pula. Kenapa mama tetep pake rok mini? Apa mama gak kedinginan?”
“Kamu juga cantik kok sayang.
Kamu jauh lebih cantik dari mama. Ini tuntutan profesi mama nak. Mama harus
berdandan seperti ini yaa atas perintah bos mama.”
“Tapi kalau pakai celana
panjang emangnya gak boleh ya ma? Aku kasian sama mama pasti kedinginan kalau
malam begini keluar pakai rok mini. Apa bakal di hukum mah kalau gak pake rok
mini?”
“Hehe
mama gak kedinginan kok Meida sayang, kan udah biasa. Gak akan dihukum sih
sebenernya, Cuma ya mama pengen tampil maksimal aja.”
“Ajari
aku dandan dong mah, aku kan juga pengen cantik kaya mama. Biar teman-teman di sekolah terpana lihat aku”
pinta Meida.
“Belum
saatnya sayang, kulit kamu masih muda, masih sangat sensitif kalau kena make-up” jawab Yanti.
“yaah
Ma, sedikit aja kok.
Lipstiknya aja deh”
“Nggak
boleh! Sudah kamu tidur sana! Mama berangkat ya Nak, kunci pintu tutup jendelanya
rapat-rapat!” Tegas Yanti sambil mencium kening anaknya.
“Iya ma.”
Meida memeluk mamanya kemudian
segera tidur. Yanti beranjak pergi. Sampai di club malam, segera ia naik keatas panggung untuk menghibur para
tamu yang datang. Sorotan mata liar arah jam 12 menatapnya lurus. Di sana duduk seorang laki-laki
berusia sekitar 30 tahunan sedang menenggak segelas bir. Mata itu terus menatap
Yanti yang sedang menari sambil menyanyi. Yanti turun dari panggung hiburan.
Dihampirilah Yanti oleh laki-laki tinggi besar nan tampan itu. Ia datang
membawa sebuah map warna coklat.
“Anda
Yanti istri Gunawan?” Tanya laki-laki yang terus menatap matanya itu.
“Ya
benar saya Yanti, Anda siapa? Dan ada apa?” timpal Yanti yang terkejut
mendengar laki-laki itu menyebut nama
suaminya.
“Perkenalkan,
saya Hendra rekan kerja almarhum suamimu.”
Yanti
terkejut.
“Ma’af
saya tidak kenal Anda, ada apa memangnya?”
“Saya
tak ingin bertele-tele, jadi langsung saja saya sampaikan. Suami Anda Gunawan,
telah berhutang pada saya sebesar 35 juta rupiah dua bulan sebelum ia
meninggal.”
“Haaah? Suami saya tak pernah
mengatakan pada saya ia meminjam uang pada Anda” ujar Yanti yang terkejut
hebat.
“Gunawan meminjam uang saya untuk
membelikanmu berlian, namun naasnya ia ditipu oleh orang yang berpura-pura
menjadi penjual berlian. Yang perlu Anda ketahui sekarang, dia belum satu perak
pun membayar hutang beserta bunganya pada saya hingga akhirnya dia meninggal.
Saya datang kesini mencari kamu, satu-satunya orang yang bisa saya mintai
pertanggung jawabannya atas hutang Gunawan.”
“Demi Tuhan saya tak mengetahui
apa-apa tentang hutang itu. Jangan mengada-ngada yaa” saut Yanti yang masih
belum percaya akan ucapan lelaki itu.
“Saya
punya bukti, ini (menyerahkan sebuah map warna coklat berisikan berkas-berkas,
surat perjanjian lengkap dengan tanda tangan diatas materai)”
Yanti
membaca surat-surat itu dengan raut muka yang tak karuan.
“Anda masih tak percaya? Saya tak
berbohong bukan? Saya berikan Anda waktu dua minggu untuk melunasi hutang suami
Anda beserta bunganya. Jumlah semuanya menjadi Rp. 55 Juta.” Tegas laki-laki
itu.
“Dua minggu? Anda kira saya orang
gedongan? Saya hanya penyanyi café yang gaji pun tak seberapa. Saya tak punya
uang sebanyak itu!”
“Ya Saya tak peduli, sudah cukup
saya menunggu lebih dari tiga tahun. Sekarang saatnya Anda harus membayar
semuanya.”
“Ya, namun dengan apa saya membayarnya? Berikan
kerenggangan waktu untuk saya. 2 bulan,
bagaimana?” pinta Yanti, wanita cantik itu dengan mata berkaca-kaca
itu.
“Anda kira ini pasar ikan yang bisa
ditawar-tawar? Kalau Anda tak ada uang tunai, anda bisa membayarnya dengan…”
(sambil melihat Yanti dari ujung kaki hingga kepalanya dengan sedikit senyum
jahat)
“Maksud Anda?” Tanya Yanti seperti
orang ketakutan.
Hendra membawa Yanti keluar dari
tempat itu. Memaksanya masuk ke dalam
mobilnya. Yanti berteriak minta tolong namun orang-orang disana tak
menghiraukan. Ada dari mereka yang terlihat ingin menolong,namun ketika melihat
bodyguard Hendra, mereka mengurungkan
niat untuk menolongnya. Hendra berhasil membawa Yanti pergi dari tempat itu.
Sekitar dua kilometer mobil melaju, tiba-tiba Hendra ingin buang air kecil.
Kemudian mobil berhenti.
Hendra pun mencari semak-semak untuk buang air kecil ditengah malam yang
mencekam itu. Pada kesempatan yang sama, ketika supir dan satu orang Bodyguard yang duduk di depan,lengah, Yanti keluar dari mobil karena keadaan
pintu mobil memang terbuka, kemudian berlari sekencang mungkin hingga ia
berhasil lari dari mereka.
Hendra kembali masuk kedalam mobil, dan melihat Yanti sudah tak ada. Hendra
memaki-maki supir dan Bodyguardnya
yang bodoh itu. Karena sudah tak mungkin wanita itu dikejar, mereka pun pulang
dengan tangan kosong.
Keesokan harinya, Yanti hendak
mengantar putrinya sekolah. Tiba-tiba datang dua orang lelaki bertubuh
tinggi dan tegap. Satu diantaranya berkumis tebal membawa senjata di
pinggangnya. Mereka adalah polisi. Mereka datang menemui Yanti yang sudah
terlihat seperti orang ketakutan. Polisi mengucapkan selamat pagi, kemudian tak
lama mengatakan bahwa Yanti harus ikut mereka ke kantor polisi karena alasan
perkara penipuan atas nama Hendra Sutoyo. Yanti mengelak, namun polisi tetap
memaksanya ikut ke kantor untuk keterangan lebih lanjut. Meida yang saat itu
sedang duduk mengikat tali sepatunya sontak menangis melihat sang mama dipaksa
polisi yang langsung membawanya pergi. Meida mengejar mamanya dan sempat
tersandung tali sepatu yang belum usai ia ikat. Salah seorang tetangga mencoba
menenangkan gadis kecil nan malang itu, memberinya segelas air putih sekedar
untuk melepas ketegangan. Meida mengurungkan niat untuk berangkat ke sekolah
pagi itu. Sore harinya, ia meminta Bu Hilwan, tetangga dekatnya untuk
mengantarnya ke kantor polisi dimana sang mama tengah mendekam disana.
Sampai di kantor polisi, Meida
menanyakan keberadaan mamanya pada Pak polisi disana. Ia berkata ia ingin
menemui mamanya sebentar saja. Polisi itu mengantarnya ke ruang tunggu. Bu
Hilwan juga ikut. Tak lama, Yanti yang sudah mengenakan baju tahanan, keluar
menemui anaknya diruang tunggu. Air mata pecah dalam suasana itu. Yanti memeluk
anaknya erat-erat tak ingin lepas hingga ia esok atau bahkan hingga masa
tahanannya berakhir tiba. Meida sama sekali tak mengetahui perkara yang terjadi
pada ibunya. Meida yang ingin sekali tahu apa yang sebenarnya terjadi,
menanyakan pada ibunya sesaat setelah pelukan itu lepas.
“Mama, apa yang sebenarnya terjadi?
Beritahu aku agar aku tak bertanya-tanya sendiri. Aku takut mah dirumah
sendiri” Tanya gadis kecil yang memerah matanya itu.
“Mama terlibat utang nak, utang papahmu
pada pak Hendra seorang rentenir sebelum ia meninggal. Mama tak mampu
membayarnya” jawab Yanti yang menatap tajam mata sang anak.
“Utang untuk mah? Apa jumlahnya
besar? Mamah bisa pakai uang tabunganku mah. Aku mohon mama jangan tinggalin
aku sendiri dirumah. Ayok kita pulang!”
“Besar nak, sangat besar jumlahnya.
Puluhan juta. Kamu tak akan mengerti sayang. Mamah akan baik-baik saja disini.
Doakan Mamah semoga Allah memberikan pertolongannya pada kita dan Mamah segera
bebas drai tempat terkutuk ini.”
“Tapi kapan Mah? Aku mau ikut Mama
aja disini. Nemenin Mama, pasti Mama kedinginan tidur tanpa selimut.”
“Jangan khawatir sayang. Mama nggak
sendirian kok. Disini banyak teman. Kamu tenang saja ya sayang. Bu Hilwan, saya
titip anak saya selama saya dipenjara ya Bu. Untuk Meida kamu jangan nakal
yaa!”
“Iya Bu, saya akan menjaga Meida
dengan baik. Dia bisa tidur dengan Firda. Untuk masalah sekolahnya, tenang saja
Bu, Meida akan tetap sekolah bareng Firda kok. Bu Yanti jaga diri baik-baik
yaa. Saya akan sering kesini bersama Meida.” Tutur bu Hilwan yang juga terharu
dengan keadaan itu.
Lima belas menit yang tersedia untuk
kunjungan tak terasa telah terlewati begitu cepat. Polisi membawa Yanti kembali
masuk kedalam sel. Bu hilwan dan Meida dipersilahkan untuk meninggalkan tempat
itu. Tangis kembali pecah saat polisi membawa Yanti masuk, Meida sangat tak
rela ibunya mendekam disana untuk waktu yang lama. Tapi apa boleh buat, semua
telah terjadi, dan mereka harus melewatinya. Bu Hilwan yang bijak pun mengajak Meida
pulang kerumah.
Lima hari terlewati tanpa Yanti
disamping Meida. Meida hanyalah gadis kecil yang belum mampu bertahan seorang
diri tanpa dekapan seorang ibu. Walaupun ada Bu Hilwan yang sementara
menggantikan posisi Yanti, tetap saja semua terasa beda dimata gadis manis
berlesung pipit itu.
Sore hari di pelataran rumahnya,
Meida duduk merenung ditemani rintik gerimis. Mata sayup terlihat dilengkung
matanya karena tidur yang kurang nyenyak berhari-hari. Ia sedang memikirkan
bagaimana caranya ia dapat melunasi utang ibunya dan membebaskan ibunya dari
hukuman penjara. Ia berjalan menuju kamar ibunya. Wangi semilir parfum Avril Lavigne favorit mamanya masih
tercium dalam ruangan itu. Meida mengahampiri meja dandan tempat dimana
sehari-hari Yanti bersolek. Terlintas dibenak gadis polos itu untuk menggunakan
make-up milik mamanya. Ia masih ingat
cara mamanya berdandan, walau ia tak pernah diajarkan. Diambilnya bedak dimeja
itu, kemudian ia bubuhi diwajahnya yang putih. Eye shadow juga ia kenakan
di lengkung kedua matanya. Kemudian memerahi pipinya dengan bola-bola. dilihat
ada mascara, dan tanpa ragu ia
gunakan di bulu matanya. Ia melihat wajahnya yang suduh aneh didepan cermin,
namun ada yang kurang. Yaa, bibirnya masih pucat. Belum seperti bibir ibuny yang
selalu merah merekah. Diambilnya lah lipstick
warna merah hati, kemudian dengan sangat hati-hati ia gunakan lipstick itu dibibirnya yang kecil. Karena ia
belum mahir, lipsticknya pun masih
nampak tidak rapi.
Ia berdiri dari bangku, kemudian
membuka lemari di sudut kanan meja dandan. Mencari baju atau gaun yang pas
untuknya. Semua pakaian ia keluarkan dari dalam lemari. Ia coba satu persatu,
namun tak ada yang pas untuknya, semua kebesaran. Hingga akhirnya dia menemukan
sebuah rok mini yang muat di pinggangnya yang kecil. Ia kenakan rok itu. Untuk
bajunya, ia mengenakan tengtop miliknya sendiri. Dibawah lemari itu, ada
kumpulan sepatu yang berderet rapi. Diambil salah satu high heels yang juga berwarna merah. Tingginya sekitar 8 cm.
mungkin itu masih pendek, tapi bagi Meida, itu sudah sangat tinggi. Lengkap
sudah Meida sore itu, ia nampak bak seorang model majalah.Ia mencoba
berlenggak-lenggok didalam kamar sempit yang ia imajinasikan ada karpet merah
terbentang menjadi jalanannya. Ia bercermin, melihat dirinya yang sudah tidak
seperti anak kecil. Saat itulah ia merasa dua puluh tahun lebih tua dari
usianya sekarang. Mata berbinarnya ia tatap dalam cermin dalam-dalam. Satu
pikiran termuat di otaknya, ia harus menemui laki-laki yang memenjarakan ibunya
itu, Hendra Sutoyo. Mengendap-endap keluar dari rumah, melihat kanan kiri rumah
tetangga sedang sepi. Bau tanah selepas hujan masih tercium, ia berjalan pelan
karena takut terpeleset tanah yang basah.
Meida pergi dari rumah, menaiki
angkot dengan uang yang baru saja ia ambil dari celengannya. Ia menuju ke rumah
Hendra di kawasan yang tak begitu jauh dari rumahnya. Meida mendapati alamat
rumah Hendra dari kartu nama yang ada bersamaan dengan surat-surat dalam map
coklat di dalam kamar Yanti. Ia bertanya-tanya pada supir angkot dimana alamat
itu. Pak supir memberitahunya dan mengantarnya hingga di depan gang alamat yang
tertuju. Meida turun dari angkutan, membayar jasa tranportasinya kemudian
berjalan masuk melewati gang perumahan mewah yang sangat berbeda dengan gang
rumahnya yang sempit dan pengap. Meida mencari-cari, hingga akhirnya ia
menemukan rumah yang sesuai dengan alamat itu, Jl. Anyelir Timur 22 Jakarta Selatan.
Meida yang sudah tak sabar ingin
bertemu lelaki tak punya hati itu segera memencet bel di gerbang. Datang
seorang pembantu, menanyakan siapa Meida. Awalnya pembantu itu tak mengizinkan
Meida masuk, namun karena gadis kecil itu memaksa ingin bertemu, ia pun
mengizinkan. Tiba di depan pintu rumah Hendra, pembantu memanggil majikannya.
Tak lama, Hendra pun keluar menemui Meida.
“Selamat sore Bapak yang terhomat,
perkenalkan saya Meida, seorang anak yang telah ditinggal pergi ayahnya dan
kini kehilangan ibunya. Saya anak tunggal dari Yanti Maiastuti yang kini tengah mendekam dipenjara
karena tuntutan utang dari Anda.” Ucap Meida gadis yang tiba-tiba berpikiran
sangat dewasa.
“Apaan-apaan kamu anak kecil?
Berani-beraninya kamu sini? Apa yang kamu mau? Kamu mau permen? Atau minta uang jajan? Haha..”
saut Hendra lelaki tamak itu.
Dengan suara mendesah Meida menjawab “Saya
memang anak kecil Pak. Saya memberanikan diri datang kesini untuk bertemu
bapak. Meminta dengan sangat pada Bapak untuk membebaskan mamah saya yang
sangat saya sayangi. Satu-satunya harta
berharga yang saya punya.”
“Iya
tapi apa maksud kamu datang kemari dengan berpakaian tidak wajar seperti ini?”
ucap Hendra yang mulai terlihat kebingungan.
“Bapak bisa menjual saya untuk
melunasi utang-utang mamah saya, terserah Bapak mau jual saya kemana pun asal
Bapak mecabut tuntutan dan membebaskan mama saya dari dinginnya tembok
penjara!” Tegas anak itu.
Sontak tertegun Hendra di hadapan gadis yang tingginya
hanya sepusarnya itu. Terbayang
dibenaknya wajah seorang anak seusia Meida, ya dia anaknya, Shintai yang telah meninggal dua tahun lalu bersama
dengan istrinya dalam kecelakaan di tol. Hendra kini adalah seorang duda yang
ditinggal mati istri dan anak tunggalnya. Dilihatnya Meida yang masih berdiri
tegap dengan sepatu tinggi. Hati si lintah darat itu seperti terbentur karang
di lautan kemudian pecah di tengah ombak. Seperti mendapat ilham dari langit,
ibanya tiba-tiba muncul dan merajai hatinya. Setelah ia renungi, Hendra memeluk
Meida sama seperti ia memeluk Shinta dulu. Kemudian ia berkata bahwa ia akan
mencabut tuntutan ibunya dan membebaskan seluruh utang-utangnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar