Kamis, 02 Agustus 2018

Cerpen "Lipstik Punya Mamah"


Lipstick Punya Mama

Kicau burung membuka rona pagi di padatnya ruang ibu kota. Meida seorang gadis kelas satu SD berangkat ke sekolah ditemani sang mama tercinta, Yanti (29 th). Meida digandeng mamanya melewati gang-gang kecil di sepanjang jalan menuju sekolah. Raut ceria terlihat di wajah manis gadis kecil nan mungil itu. Meida menggendong tas Sailor Moon warna kuning kesayangannya, dan sang mama membawa tas merk Hermes kw 3. Sampai di gerbang sekolah, Yanti mecium anaknya, dan Meida pun segera masuk ke kelas.
Meida pulang dari sekolah berjalan kaki bersama teman-teman sekolahnya. Yanti sudah memasak makanan kesukaan Meida gadis kelahiran 12 Mei enam tahun lalu itu. Yaa, nasi panas dengan sayur kangkung saus tiram dan lauk tumis cumi pedas manis. Ia hanya memasak untuk dua orang, untuk dia dan anaknya. Sejak ayah Meida meninggal karena kecelakaan kereta tiga tahun lalu, Yanti menjadi tulang punggung keluarga kecil yang dibina dalam kesederhanaan itu. Meski dengan kesederhanaan, mereka tetap hidup bahagia berdua. Kasih sayang seorang ibu kepada anaknya yang tidak dapat ditukar dengan sebongkah harta karun sekalipun, seperti itulah Yanti pada gadis kecilnya.
Malam tiba, Meida pulang mengaji dan membuka buku pelajaran untuk jadwal esok. Di meja kecil dari rotan dalam sebuah kamar berukuran 2x3 meter dengan penerangan lampu pijar 40 watt, disitulah Meida belajar. Sang mama datang membawakannya makan malam.
“Cantik, makan dulu nak. Nanti lanjut lagi belajarnya.” Ujar Yanti
“Mama udah makan?” sahut sang anak.
sudah Nak, nih mama suapin yaa?”
            Yanti menyuapi anaknya. Ia berbohohong karena sebenarnya ia belum makan. Persediaan nasi sudah habis dan baru bisa esok ia masak lagi. Makan selesai, Meida melanjutkan belajarnya hingga setengah sepuluh malam. Setelah itu ia tidur, Yanti menunggu anaknya hingga benar-benar lelap. Meida sudah tampak benar-benar lelap, Yanti bergegas berangkat mencari lubang rezekinya. Ia mandi, kemudian memakai baju dan rok mini, ber make up tebal, dengan high heels 12 cm warna gold yang dibelinya di Taman Puring. Sebelum berangkat ia mencium kening anaknya, kemudian segera berangkat ke tempat uang berdansa. Menjadi penyanyi sebuah club malam adalah pilihan satu-satunya bagi Yanti kerena hanya bernyanyilah kemampuan yang ia miliki. Walau sebenarnya masih banyak pekerjaan lain yang bisa ia tekuni, namun ia tetap memilih profesi ini untuk menjadi benteng dalam kerasnya kehidupan di ibu kota.
            Lampu warna-warni, alunan musik berbagai genre, dan bau alkohol yang menyengat mewarnai suasana hingar-bingar club malam. Yanti ada disana, duduk istirahat setelah lelah bergoyang ria membawakan lagu dangdut permintaan dari pengunjung-pengunjung bermata liar. Yanti tak meminum alkohol, selain karena tak baik untuk kesehatan, ia pun alergi oleh minuman itu.
            Waktu telah menunjukkan pukul 5 dini hari.. Kicau burung terdengar ramai membuka rona pagi di belahan bumi ibu kota. Berbagai aktifitas telah dilakukan warga sekitar pagi itu. Ada yang sedang menjemur pakaian, mengepel lantai rumah, pergi ke pasar, hingga menstarter motor untuk berangkat kerja. Yanti pulang dari tempat kerja. Berjalan melewati gang sempit menuju rumahnya diujung jalan gang. Para tetangga melihatnya sinis, bahkan mengunjing dibelakangnya. Yanti mengabaikan itu, ia tetap berjalan santai menuju rumah sederhanya tanpa dosa. Rasanya ingin segera ia bertemu Meida, membangunkannya untuk sekolah. Sampai dirumah, benar saja Meida yang sulit bangun belum bangun dari tidur nyenyaknya semalam. Lekas sang ibu membangunkannya, menyuruh menunaikan sholat Subuh karena waktu telah menunjukkan pukul 05:30 WIB. Meida bangun, kemudian sholat, mandi, sarapan, dan berangkat ke sekolah. Mata Yanti yang sebenarnya telah lelah tetap dipaksa untuk melek agar bisa mengantar anaknya ke sekolah. Rambut Meida telah tersisir rapi  serapi baju pramuka yang ia kenakan. Ia dan ibunya pun bergegas menuju sekolah.
            Meida tak pernah mengetahui apa pekerjaan ibunya yang sebenarnya. Yang ia tahu, ibunya adalah seorang model cantik yang berangkat malam pulang pagi. Hingga pada suatu malam yang temaram, Yanti hendak berangkat kerja. Meida belum tidur saat itu. Dihampirilah sang ibu,
“ Mama, mama lagi apa?” Tanya Meida dengan suara lembutnya.
“Loh kamu kok belum tidur? Mama mau kerja nak. Sudah sana kamu tidur. Besok sekolah bukan?” jawab Yanti.
“Besok aku libur kok mah. Mama kok cantik banget yaa. Tapi mah, ini kan sudah malam, dingin pula. Kenapa mama tetep pake rok mini? Apa mama gak kedinginan?”
Kamu juga cantik kok sayang. Kamu jauh lebih cantik dari mama. Ini tuntutan profesi mama nak. Mama harus berdandan seperti ini yaa atas perintah bos mama.”
Tapi kalau pakai celana panjang emangnya gak boleh ya ma? Aku kasian sama mama pasti kedinginan kalau malam begini keluar pakai rok mini. Apa bakal di hukum mah kalau gak pake rok mini?”
“Hehe mama gak kedinginan kok Meida sayang, kan udah biasa. Gak akan dihukum sih sebenernya, Cuma ya mama pengen tampil maksimal aja.”
“Ajari aku dandan dong mah, aku kan juga pengen cantik kaya mama. Biar teman-teman di sekolah terpana lihat aku” pinta Meida.
“Belum saatnya sayang, kulit kamu masih muda, masih sangat sensitif kalau kena make-up” jawab Yanti.
“yaah Ma, sedikit aja kok. Lipstiknya aja deh”
“Nggak boleh! Sudah kamu tidur sana! Mama berangkat ya Nak, kunci pintu tutup jendelanya rapat-rapat!” Tegas Yanti sambil mencium kening anaknya.
Iya ma.”
            Meida memeluk mamanya kemudian segera tidur. Yanti beranjak pergi. Sampai di club malam, segera ia naik keatas panggung untuk menghibur para tamu yang datang. Sorotan mata liar arah jam 12 menatapnya lurus. Di sana duduk seorang laki-laki berusia sekitar 30 tahunan sedang menenggak segelas bir. Mata itu terus menatap Yanti yang sedang menari sambil menyanyi. Yanti turun dari panggung hiburan. Dihampirilah Yanti oleh laki-laki tinggi besar nan tampan itu. Ia datang membawa sebuah map warna coklat.
“Anda Yanti istri Gunawan?” Tanya laki-laki yang terus menatap matanya itu.
“Ya benar saya Yanti, Anda siapa? Dan ada apa?” timpal Yanti yang terkejut mendengar laki-laki itu menyebut  nama suaminya.
“Perkenalkan, saya Hendra rekan kerja almarhum suamimu.”
Yanti terkejut.
“Ma’af saya tidak kenal Anda, ada apa memangnya?”
“Saya tak ingin bertele-tele, jadi langsung saja saya sampaikan. Suami Anda Gunawan, telah berhutang pada saya sebesar 35 juta rupiah dua bulan sebelum ia meninggal.”
            “Haaah? Suami saya tak pernah mengatakan pada saya ia meminjam uang pada Anda” ujar Yanti yang terkejut hebat.
            “Gunawan meminjam uang saya untuk membelikanmu berlian, namun naasnya ia ditipu oleh orang yang berpura-pura menjadi penjual berlian. Yang perlu Anda ketahui sekarang, dia belum satu perak pun membayar hutang beserta bunganya pada saya hingga akhirnya dia meninggal. Saya datang kesini mencari kamu, satu-satunya orang yang bisa saya mintai pertanggung jawabannya atas hutang Gunawan.”
            “Demi Tuhan saya tak mengetahui apa-apa tentang hutang itu. Jangan mengada-ngada yaa” saut Yanti yang masih belum percaya akan ucapan lelaki itu.
            Saya punya bukti, ini (menyerahkan sebuah map warna coklat berisikan berkas-berkas, surat perjanjian lengkap dengan tanda tangan diatas materai)”
Yanti membaca surat-surat itu dengan raut muka yang tak karuan.
            “Anda masih tak percaya? Saya tak berbohong bukan? Saya berikan Anda waktu dua minggu untuk melunasi hutang suami Anda beserta bunganya. Jumlah semuanya menjadi Rp. 55 Juta.” Tegas laki-laki itu.
            “Dua minggu? Anda kira saya orang gedongan? Saya hanya penyanyi cafĂ© yang gaji pun tak seberapa. Saya tak punya uang sebanyak itu!”
            “Ya Saya tak peduli, sudah cukup saya menunggu lebih dari tiga tahun. Sekarang saatnya Anda harus membayar semuanya.”
            “Ya, namun dengan apa saya membayarnya? Berikan kerenggangan waktu untuk  saya. 2 bulan, bagaimana?”  pinta Yanti, wanita cantik itu dengan mata berkaca-kaca itu.
            “Anda kira ini pasar ikan yang bisa ditawar-tawar? Kalau Anda tak ada uang tunai, anda bisa membayarnya dengan…” (sambil melihat Yanti dari ujung kaki hingga kepalanya dengan sedikit senyum jahat)
            “Maksud Anda?” Tanya Yanti seperti orang ketakutan.
            Hendra membawa Yanti keluar dari tempat itu. Memaksanya masuk ke dalam mobilnya. Yanti berteriak minta tolong namun orang-orang disana tak menghiraukan. Ada dari mereka yang terlihat ingin menolong,namun ketika melihat bodyguard Hendra, mereka mengurungkan niat untuk menolongnya. Hendra berhasil membawa Yanti pergi dari tempat itu. Sekitar dua kilometer mobil melaju, tiba-tiba Hendra ingin buang air kecil. Kemudian mobil berhenti. Hendra pun mencari semak-semak untuk buang air kecil ditengah malam yang mencekam itu. Pada kesempatan yang sama, ketika supir dan satu orang Bodyguard yang duduk di depan,lengah, Yanti keluar dari mobil karena keadaan pintu mobil memang terbuka, kemudian berlari sekencang mungkin hingga ia berhasil lari dari mereka. Hendra kembali masuk kedalam mobil, dan melihat Yanti sudah tak ada. Hendra memaki-maki supir dan Bodyguardnya yang bodoh itu. Karena sudah tak mungkin wanita itu dikejar, mereka pun pulang dengan tangan kosong.
            Keesokan harinya, Yanti hendak mengantar putrinya sekolah. Tiba-tiba datang dua orang lelaki bertubuh tinggi dan tegap. Satu diantaranya berkumis tebal membawa senjata di pinggangnya. Mereka adalah polisi. Mereka datang menemui Yanti yang sudah terlihat seperti orang ketakutan. Polisi mengucapkan selamat pagi, kemudian tak lama mengatakan bahwa Yanti harus ikut mereka ke kantor polisi karena alasan perkara penipuan atas nama Hendra Sutoyo. Yanti mengelak, namun polisi tetap memaksanya ikut ke kantor untuk keterangan lebih lanjut. Meida yang saat itu sedang duduk mengikat tali sepatunya sontak menangis melihat sang mama dipaksa polisi yang langsung membawanya pergi. Meida mengejar mamanya dan sempat tersandung tali sepatu yang belum usai ia ikat. Salah seorang tetangga mencoba menenangkan gadis kecil nan malang itu, memberinya segelas air putih sekedar untuk melepas ketegangan. Meida mengurungkan niat untuk berangkat ke sekolah pagi itu. Sore harinya, ia meminta Bu Hilwan, tetangga dekatnya untuk mengantarnya ke kantor polisi dimana sang mama tengah mendekam disana.
            Sampai di kantor polisi, Meida menanyakan keberadaan mamanya pada Pak polisi disana. Ia berkata ia ingin menemui mamanya sebentar saja. Polisi itu mengantarnya ke ruang tunggu. Bu Hilwan juga ikut. Tak lama, Yanti yang sudah mengenakan baju tahanan, keluar menemui anaknya diruang tunggu. Air mata pecah dalam suasana itu. Yanti memeluk anaknya erat-erat tak ingin lepas hingga ia esok atau bahkan hingga masa tahanannya berakhir tiba. Meida sama sekali tak mengetahui perkara yang terjadi pada ibunya. Meida yang ingin sekali tahu apa yang sebenarnya terjadi, menanyakan pada ibunya sesaat setelah pelukan itu lepas.
            “Mama, apa yang sebenarnya terjadi? Beritahu aku agar aku tak bertanya-tanya sendiri. Aku takut mah dirumah sendiri” Tanya gadis kecil yang memerah matanya itu.
            “Mama terlibat utang nak, utang papahmu pada pak Hendra seorang rentenir sebelum ia meninggal. Mama tak mampu membayarnya” jawab Yanti yang menatap tajam mata sang anak.
            “Utang untuk mah? Apa jumlahnya besar? Mamah bisa pakai uang tabunganku mah. Aku mohon mama jangan tinggalin aku sendiri dirumah. Ayok kita pulang!”
            “Besar nak, sangat besar jumlahnya. Puluhan juta. Kamu tak akan mengerti sayang. Mamah akan baik-baik saja disini. Doakan Mamah semoga Allah memberikan pertolongannya pada kita dan Mamah segera bebas drai tempat terkutuk ini.”
            “Tapi kapan Mah? Aku mau ikut Mama aja disini. Nemenin Mama, pasti Mama kedinginan tidur tanpa selimut.”
            “Jangan khawatir sayang. Mama nggak sendirian kok. Disini banyak teman. Kamu tenang saja ya sayang. Bu Hilwan, saya titip anak saya selama saya dipenjara ya Bu. Untuk Meida kamu jangan nakal yaa!”
            “Iya Bu, saya akan menjaga Meida dengan baik. Dia bisa tidur dengan Firda. Untuk masalah sekolahnya, tenang saja Bu, Meida akan tetap sekolah bareng Firda kok. Bu Yanti jaga diri baik-baik yaa. Saya akan sering kesini bersama Meida.” Tutur bu Hilwan yang juga terharu dengan keadaan itu.
            Lima belas menit yang tersedia untuk kunjungan tak terasa telah terlewati begitu cepat. Polisi membawa Yanti kembali masuk kedalam sel. Bu hilwan dan Meida dipersilahkan untuk meninggalkan tempat itu. Tangis kembali pecah saat polisi membawa Yanti masuk, Meida sangat tak rela ibunya mendekam disana untuk waktu yang lama. Tapi apa boleh buat, semua telah terjadi, dan mereka harus melewatinya. Bu Hilwan yang bijak pun mengajak Meida pulang kerumah.
            Lima hari terlewati tanpa Yanti disamping Meida. Meida hanyalah gadis kecil yang belum mampu bertahan seorang diri tanpa dekapan seorang ibu. Walaupun ada Bu Hilwan yang sementara menggantikan posisi Yanti, tetap saja semua terasa beda dimata gadis manis berlesung pipit itu.
            Sore hari di pelataran rumahnya, Meida duduk merenung ditemani rintik gerimis. Mata sayup terlihat dilengkung matanya karena tidur yang kurang nyenyak berhari-hari. Ia sedang memikirkan bagaimana caranya ia dapat melunasi utang ibunya dan membebaskan ibunya dari hukuman penjara. Ia berjalan menuju kamar ibunya. Wangi semilir parfum Avril Lavigne favorit mamanya masih tercium dalam ruangan itu. Meida mengahampiri meja dandan tempat dimana sehari-hari Yanti bersolek. Terlintas dibenak gadis polos itu untuk menggunakan make-up milik mamanya. Ia masih ingat cara mamanya berdandan, walau ia tak pernah diajarkan. Diambilnya bedak dimeja itu, kemudian ia bubuhi diwajahnya yang putih. Eye shadow  juga ia kenakan di lengkung kedua matanya. Kemudian memerahi pipinya dengan bola-bola. dilihat ada mascara, dan tanpa ragu ia gunakan di bulu matanya. Ia melihat wajahnya yang suduh aneh didepan cermin, namun ada yang kurang. Yaa, bibirnya masih pucat. Belum seperti bibir ibuny yang selalu merah merekah. Diambilnya lah lipstick warna merah hati, kemudian dengan sangat hati-hati ia gunakan lipstick itu dibibirnya yang kecil. Karena ia belum mahir, lipsticknya pun masih nampak tidak rapi.
            Ia berdiri dari bangku, kemudian membuka lemari di sudut kanan meja dandan. Mencari baju atau gaun yang pas untuknya. Semua pakaian ia keluarkan dari dalam lemari. Ia coba satu persatu, namun tak ada yang pas untuknya, semua kebesaran. Hingga akhirnya dia menemukan sebuah rok mini yang muat di pinggangnya yang kecil. Ia kenakan rok itu. Untuk bajunya, ia mengenakan tengtop miliknya sendiri. Dibawah lemari itu, ada kumpulan sepatu yang berderet rapi. Diambil salah satu high heels yang juga berwarna merah. Tingginya sekitar 8 cm. mungkin itu masih pendek, tapi bagi Meida, itu sudah sangat tinggi. Lengkap sudah Meida sore itu, ia nampak bak seorang model majalah.Ia mencoba berlenggak-lenggok didalam kamar sempit yang ia imajinasikan ada karpet merah terbentang menjadi jalanannya. Ia bercermin, melihat dirinya yang sudah tidak seperti anak kecil. Saat itulah ia merasa dua puluh tahun lebih tua dari usianya sekarang. Mata berbinarnya ia tatap dalam cermin dalam-dalam. Satu pikiran termuat di otaknya, ia harus menemui laki-laki yang memenjarakan ibunya itu, Hendra Sutoyo. Mengendap-endap keluar dari rumah, melihat kanan kiri rumah tetangga sedang sepi. Bau tanah selepas hujan masih tercium, ia berjalan pelan karena takut terpeleset tanah yang basah.
            Meida pergi dari rumah, menaiki angkot dengan uang yang baru saja ia ambil dari celengannya. Ia menuju ke rumah Hendra di kawasan yang tak begitu jauh dari rumahnya. Meida mendapati alamat rumah Hendra dari kartu nama yang ada bersamaan dengan surat-surat dalam map coklat di dalam kamar Yanti. Ia bertanya-tanya pada supir angkot dimana alamat itu. Pak supir memberitahunya dan mengantarnya hingga di depan gang alamat yang tertuju. Meida turun dari angkutan, membayar jasa tranportasinya kemudian berjalan masuk melewati gang perumahan mewah yang sangat berbeda dengan gang rumahnya yang sempit dan pengap. Meida mencari-cari, hingga akhirnya ia menemukan rumah yang sesuai dengan alamat itu, Jl. Anyelir Timur 22 Jakarta Selatan.
            Meida yang sudah tak sabar ingin bertemu lelaki tak punya hati itu segera memencet bel di gerbang. Datang seorang pembantu, menanyakan siapa Meida. Awalnya pembantu itu tak mengizinkan Meida masuk, namun karena gadis kecil itu memaksa ingin bertemu, ia pun mengizinkan. Tiba di depan pintu rumah Hendra, pembantu memanggil majikannya. Tak lama, Hendra pun keluar menemui Meida.
            “Selamat sore Bapak yang terhomat, perkenalkan saya Meida, seorang anak yang telah ditinggal pergi ayahnya dan kini kehilangan ibunya. Saya anak tunggal dari Yanti  Maiastuti yang kini tengah mendekam dipenjara karena tuntutan utang dari Anda.” Ucap Meida gadis yang tiba-tiba berpikiran sangat dewasa.
            “Apaan-apaan kamu anak kecil? Berani-beraninya kamu sini? Apa yang kamu mau? Kamu mau permen? Atau minta uang jajan? Haha..” saut Hendra lelaki tamak itu.
             Dengan suara mendesah Meida menjawab “Saya memang anak kecil Pak. Saya memberanikan diri datang kesini untuk bertemu bapak. Meminta dengan sangat pada Bapak untuk membebaskan mamah saya yang sangat saya sayangi. Satu-satunya harta  berharga yang saya punya.”
            Iya tapi apa maksud kamu datang kemari dengan berpakaian tidak wajar seperti ini?” ucap Hendra yang mulai terlihat kebingungan.
            “Bapak bisa menjual saya untuk melunasi utang-utang mamah saya, terserah Bapak mau jual saya kemana pun asal Bapak mecabut tuntutan dan membebaskan mama saya dari dinginnya tembok penjara!” Tegas anak itu.
            Sontak tertegun Hendra di hadapan gadis yang tingginya hanya sepusarnya itu. Terbayang dibenaknya wajah seorang anak seusia Meida, ya dia anaknya, Shintai  yang telah meninggal dua tahun lalu bersama dengan istrinya dalam kecelakaan di tol. Hendra kini adalah seorang duda yang ditinggal mati istri dan anak tunggalnya. Dilihatnya Meida yang masih berdiri tegap dengan sepatu tinggi. Hati si lintah darat itu seperti terbentur karang di lautan kemudian pecah di tengah ombak. Seperti mendapat ilham dari langit, ibanya tiba-tiba muncul dan merajai hatinya. Setelah ia renungi, Hendra memeluk Meida sama seperti ia memeluk Shinta dulu. Kemudian ia berkata bahwa ia akan mencabut tuntutan ibunya dan membebaskan seluruh utang-utangnya.


           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Literasi Bulan Oktober

Literasi Dugas kali ini paparan Literasi di lapangan. Paparan Literasi diwakili empat orang siswa dari kelas 7 C dan 7 D, kelas 8 C, dan kel...